Posted by : Unknown Kamis, 02 Oktober 2014

Sedemikian uniknya tatanan busana yang terkait erat dengan adat dan tata sopan santun orang jawa dulu, demikianpun dalam pemakaian kain batik sebagai busana kebesaran harus mentaati segala peraturaan yang berlaku. Misalnya pemakaian kain batik untuk kalangan wanita harus menutupi mata kaki. Kalau memakai kain batik jauh lebih tinggi dari matdiwiru-profil lipat) berada paling atas dan ke arah kanan pinggang pemakainya.
a kaki, hal itu bisa diartikan wanita tersebut tidak paham adat, serta kurang paham kesopanan. Pakaian lembaran kain batik dimulai dari ujungnya masuk ke sebelah kiri pinggang pemakainya, dan ujung kain batik lainnya melingkari tubuh ke arah kanan. Sehingga ujung kain batik yang (
          Ini berbeda dengan cara pemakaian kain batik bagi kaum pria. Dimulai dengan memasukkan ujung kain batik ke bagian kanan pinggang, lalu ditutupi kain batik yang melingkari pinggang memutar ke kanan, lalu ke kiri. Sehingga ujung kain batik yang dilipat-lipat (diwiru) berada di tengah menghadap ke kiri. Bagian atas kain batik (bagian pinggang) diikat dengan ikat pinggang (epek) serta kain pengikat pinggang yang panjang. Bagian ini tertutup oleh kain benting (ikat pinggang panjang) yang terbuat dari kain beludru bermotif kembang-kernbang. Kemudian tertutup oleh baju kebaya (untuk kaum wanita), atau beskap (untuk kaum pria). Dengan mengenakan busana Jawi lengkap termasuk sebilah keris yang terselip di lipatan ikat pinggang, dengan kepala ditutup blangkon (kuluk) untuk kaum pria, terasalah kebesaran jiwa.
          Sementara kaum wanitanya dalam panutan busana batik dengan kain kebayanya yang membentuk potongan tubuh yang indah, terasakan keagungannya. Di luar upacara tradisional, misalnya pada suatu pasta perkawinan di luar keraton, kemeja batik atau gaun batik dengan pelbagai corak motif dan warnanya sudah merupakan busana resmi. Keanggunan seni batik tidak saja struktur warnanya yang serasi, juga corak lukisan batiknya yang penuh berisi filosofi dan penuh ragam sekaligus memberi ciri khas nilai seni budaya Jawa serta kebanggaan nasional
SENI BATIK
          Seni batik pada dasarnya merupakan seni lukis dengan  bahan: kain, canthing dan malam ‘sebangsa cairan lilin’. Canthing biasanya berbentuk seperti mangkuk kecil dengan tangki (pegangan) terbuat dari kayu atau bambu dan bermoncong satu atau lebih. Canthing yang bermoncong satu untuk membuat garis, titik atau cerek, sedangkan canthing yang bermoncong beberapa (dapat sampai tujuh) dipakai untuk membuat hiasan berupa kumpulan titik-titik.
          Masih bertahannya seni batik sampai jaman moderen ini, tidak dapat dilepaskan adanya kebanggaan, adat tradisi, sifat religius dari ragam hias batik, serta usaha untuk melestarikan pemakai batik tradisional dan tata warna tradisional. Dilihat dari proses pembuatannya ada batik tulis dan batik cap. Dengan semakin berkembangnya motif dan ragam hias batik cap, mengakibatkan batik tulis tradisional mengalami kemunduran. Hal ini dapat dimengerti sebab batik tulis secara ekonomis harga relatif mahal dan jumlah pengrajin batik tulis semakin berkurang.
          Sekarang ini ada beberapa daerah yang masih dapat dikatakan sebagai daerah pembatikan tradisional. Daerah yang dimaksud antara lain:Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, Indramayu, Garut, Pekalongan, Lasem, Madura, Jambi, Sumatera Barat, Bali dan lain-lain.
          Surakarta atau Surakarta Hadiningrat juga dikenal dengan nama Solo merupakan ibukota kerajaan dari Karaton Surakarta Hadiningrat. Surakartamerupakan pusat pusat pemerintahan, agama dan kebudayaan. Sebagai pusat kebudayaan Surakarta tidak dapat dilepaskan sebagai sumber seni dan ragam hias batiknya. Ragam hias batik umumnya bersifat simbolos yang erat hubungannya dengan filsafat Jawa-Hindu, misalnya :
a)      Sawat atau hase ‘sayap’ melambangkan mahkota atau perguruan tinggi.
b)      Meru ‘gunung’ melambangkan gunung atau tanah
c)      Naga ‘ular’ melambangkan air (tula atau banyu)
d)      Burung melambangkan angin atau dunia atas
e)      Lidah api melambangkan nyala api atau geni
          Penciptaan ragam hias batik tidak hanya memburu keindahannya saja, tetapi juga memperhitungkan nilai filsafat hidup yang terkandung dalam motifnya. Yang dalam filsafat hidup tersebut terkandung harapan yang luhur dari penciptanya yang tulus agar dapat membawa kebaikan dan kebahagiaaan pemakainya. Beberapa contoh :
a.  Ragam hias slobong, yang berarti agak besar atau longgar atau lancar yang dipakai untuk melayat dengan harapan agar arwah yang meninggal dunia tidak mendapat kesukaran dan dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa.
b.  Ragam hias sida mukti, yang berarti ‘jadi bahagia’, dipakai oleh pengantin pria dan wanita, dengan harapan agar pengantin terus-menerus hidup dalam kebahagiaan.
          Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa ragam hias dalam seni batik aturan dan tata cara pemakainya menyangkut harapan pemakainya. Disamping itu, khusus di Karaton Surakarta, ragam hias batik (terutama kain batik) dapat menyatakan kedudukan sosial pemakainya, misalnya ragam hias batik parang rusak barong atau motif lereng hanya boleh dipakai oleh raja dan putra sentana. Bagi abdi dalem tidak diperkenankan memakai ragam hias tersebut.
          Seni batik bagi Karaton Surakarta merupakan suatu hal yang penting dalam pelaksanaan tata adat  busana tradisional Jawa, dan dalam busana tradisional  ini kain batik memegang peranan yang cukup penting bagi pelestarian dan pengembangan seni budaya jawa kedepan  
Kain Batik Tertentu Dipercaya Daya Gaib Kepada Pemakainya.
          Jangan sembarang memakai batik, motif batik tertentu dipercaya memberikan kekuatan pada pemakainya. Maka si pemakai juga bukan orang sembarangan, batik jenis itu disebut batik larangan.
          Batik larangan banyak tersebar di Yogyakarta, Surakarta danCirebon. Di tiga daerah itu ada karaton yang dihuni oleh para Sultan. Disana batik berperan penting dalam upacara tradisional karaton. Pelbagai motif khusus masih diakui menjadi milik karaton antara lain : Kawung Parang, Cemukiran, Udan Liris dan Alas-Alasan.
Kawung
          Corak ini bermotif bulatan mirip buah kawung (sejening kepala) yang ditata rapi secara geomatris. Palang hitam-hitam dalam bulatan diibaratkan biji kawung untuk orang Jawa, biji itu lambang kesuburan.
          Motif kawung juga bisa diinterprestasikan sebagai gambar lotus (teratai) dengan empat lembar daun bunga yang merekah. Lotus melambangkan umur panning dan kesucian.
          Beberapa variasi kawung adalah ceplok, truntum dan sidomukti. Salah satu variasi lain tumbal, diperuntukkan kaum brahmana dan cendekiawan.
Parang
          Corang itu berpola pedang yang menunjukkan kekuatan atau kekuasaan, karenanya batik bercorak parang diperuntukkan para ksatya dan penguasa. Menurut kepercayaan, corak parang harus dibatik tanpa salah agar tak menghilangkan kekuatan gaibnya.
          Kalau berpola pisau belati atau keris , batik bercorak parang boleh dipakai oleh tiap orang dan dipercaya membawa rezeki dan menjauhkan dari penyakit. Variasinya : Parang Rusak, Parang Barong dan Parang Klitik.
          Komposisi miring pada parang menandakan kekuatan dan gerak cepat, yang dipercaya memberi kekuatan magis pada batik bercorak parang itu adalah mlinjon, pemisah komposisi miring berbentuk seperti ketupat.
 Sawat
          Corak ini ditandai dengan lukisan sayap atau lar, baik yang berpasangan maupun yang tunggal. Sayap itu mengibaratkan garuda, menurut mitologi Hindu-Jawa, garuda adalah burung yang bertubuh dan berkaki seperti manusia, namun bersayap dan berkepala seperti burung. Corak parang yang diberi tambahan lar garuda hanya boleh digunakan oleh raja dan putranya.
Batik Sebagai Busana Dalam Tatanan dan Tuntunan
          "Rum Kuncaraning Bangsa Dumunung Haneng Luhuring Budaya" sabda dari Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono X dari Karaton Surakarta Hadiningrat itu mempunyai arti harumnya nama dan tingginya derajat suatu bangsa terletak pada budayanya.
          Melihat keberadaan batik Surakarta pada saat ini, di rasa cukup memprihatinkan mengingat pada saat ini orang hanya bisa mengenakan, namun ternyata sedikit yang bisa memahami makna batik secara budaya. Lebih dari itu di saat orang asing tertarik untuk mempelajari berbagai hal tentang batik, justru orang Jawa sebagai pemilik sebagai pemilik budaya batik  nampaknya sedikit yang memperdulikannya.
          Sedangkan bagi orang luar termasuk orang asing atau mancanegara diharapkan buku ini dapat memberikan informasi yang lebih mendalam tentang bathik Surakarta serta dapat menumbuhkan cakrawala baru bahwa batik, khususnya Gaya Surakartan bukan sekedar pakaian namun riwayatnya memuat filosofi yang luhur
Pengertian Bathik
          Para penulis buku tentang bathik terdahulu, banyak yang menuliskan kata "Bathik" dengan "Batik" atau huruf yang seharusnya "tha" ditulis dengan "ta". Dimana bathik menurut penulis bathik-bathik terdahulu diartikan menurut "Jarwadhosok" yaitu "Ngembat Titik" atau "Rambataning Titik-Titik". Dimana dari "Jarwaodhosok" tersebut dimaksudkan bahwa bathik merupakan rangkaian dari titik-titik.
          Namun demikian, pemaknaan bathik seperti itu itu penulis tidak tepat atau bahkan dapat dikatakan salah. Karena jika dilihat dari huruf Jawa yang dipergunakan dalam menuliskan bathik adalah…… bukannya…… yang menggunakan huruf ta. Sehingga kalau mengacu pada penulisan tersebut bathik kalau di "Jarwodhosok" kan akan menjadi ngembat "thithik atau rambating" thithik-thithik".
          Dilihat dari hal itu arti bathik secara "Jarwadhosok" tidaklah tepat, hanya sekedar "dolanan tembung" (bermain kata-kata) saja. Dalam budaya Jawa bathik tidak dapat diartikan hanya dengan satu dua kata ataupun padanan kata tanpa penjelasan lanjut. Karena bathik merupakan suatu hasil dari proses yang panning mulai dari melukis motif hingga pada tahap akhir proses "babaran". Yang menjadi ciri utama dari bathik adalah di dalam proses tersebut dipergunakan bahan utama berupa mori, malam (lilin) dan pewarna.
          Dalam buku "Peatingkahing Adamel Sinjang", proses pembuatan bathik ada dua macam yang keduanya memiliki perbedaan mendasar. Yang kemudian dari perbedaan proses tersebut menghasilkan dua jenis bathik, yaitu bathik carik dan bathik cap. Perbedaan yang mendasar itu terletak pada proses awal pembuatan bathik, dimana pada bathik carik pembuatan pola awal motif bathik digambar menggunakan pensil. Yang kemudian ditindas dengan " malam " menggunakan canting. Sedangkan pada bathik cap, pola atau motif bathik dibuat dengan menggunakan cap atau stamp yang terbuat dari tembaga. Cap tersebut dibasahi dengan malam dan langsung dicapkan pada mori putih, jadi tanpa menggunakan pola dari pensil dan tanpa menggunakan canthing. Dalam proses selanjutnya kedua jenis bathik ini menggunakan cara yang sama.  
Falsafah agraris Batik
          Erat sekali hubungan antara motif ( gambar) batik dengan lingkungan alam sekitarnya. Bentuk dan warna biji dan bungan menjadi inspirasi dari motif ( gambar) batik yang dibuat sedemikian indah oleh seniman tradisional yang kreatif menghasilkan pelbagai gambar/ motif dengan makna filosofisnya yayangh dalam. Motif/ gambar dari rambut disela-sela pelepah daun pohon kolang kaling, melahirkan motif batik kawung. Dari bungan kenikir lahir motif batik ceplok kembang kenikir, dari bunga asam lahir motif batik semen kembang asem, dari buah manggis lahir motif batik ceplok manggis, dari merekahnya bunga kecil lahirlah motif batik truntum, dari mata parang yang rusak lahirlah motif parang . Dan untuk pengisi ruang kosongnya diberi motif/ gambar bunga sirih, rembyang, cengkehan, bunga delima dan lain-lain. Warna batik yang merah putih itu asalnya darti warna gula kelapa, hijau putih dari gadung mlati , merah ibarat hutan terbakar.
          Ketika industrialisasi makin merebak, penggusuran hutan atau daerah pertanian dengan hayati dan nabatinya, juga perubahan cara berpikir masyarakat pendukung nilai-nilai filosofi batik, maka semakin jelas tergesernya filosofi agraris yang menjadi isi utama filosofi motif batik.
          Produk teknologi proses pembuatan batik printing dengan motif/gambar batik hasil rancangan komputer dengan variasi gambar dan kecerahan warna yang semarak ataupun yang norak pada dua decade terakhir ini telah menciptakan tekstil bermotif batik gaya baru.Meski pun mungkin isi filosofinya tak lagi agraris. Atau tanpa filosofi, sekedar keceriaan.Ada juga motif-motif batik dengan karya kreatif yang tidak terikat dengan filosofi agraris pada batik tradisional, seperti motif batik Wahyu tumurun, wirasat, sri kuncoro, Bokor kencana dan lain-lain.
          Setiap daerah memiliki ciri  warna khas dan motif batiknya. Kal;au di daerah Surakarta di pedalaman warna batik dikuasai sogan coklat, latar hitam/kelenga atau biru.sumber

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Blogger templates

Total Tayangan Halaman

- Copyright © INFOMAXX -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -